MIE INSTAN DAN ANALISANYA


1.   MIE INSTAN
Tahukah anda jikalau mi instant yang sudah mendarah daging dan menjadi salah satu makanan pokok di Indonesia ternyata memiliki kandungan kadar gizi yang cukup banyak dan berguna bagi tubuh. Hal ini berbeda dengan omongan orang-orang yang mengatakan bahwa makan mie instant membuat orang kekurangan gizi.
Hal itu memang ada benarnya karena pada mie instant memiliki nilai gizi nutrisi (nutrition fact) yang belum lengkap sehingga alangkah baik jika dalam mengkonsumsi mi instant dipadukan dengan bahan-bahan lain yang dapat memenuhi kebutuhan gizi tubuh kita sehari-hari.
Berdasarkan hasil pantauan ternyata nilai gizi dari tiap rasa dalam satu merek yang sama punya kandungan gizi yang berbeda-beda. Contohnya pada produk Indomie di mana kadar gizi pada Indomie rasa soto mie berbeda jauh dengan kandungan gizi pada Indomie rasa baso sapi. Dari sisi energi yang bisa kita dapat dari tiap sebungkus mi instan pun dapat kita ketahui.
Namun yang perlu diketahui adalah bahwa kebutuhan gizi untuk tiap-tiap orang adalah berbeda-beda dan dalam tiap bungkus mie instant belum tentu memiliki kandungan yang sama persis seperti pada informasi nilai gizi pada kemasan pembungkus. Dari info gizi tersebut seharusnya kita dapat melengkapi kekurangan gizi dari tiap bungkus mi instan dan menghindari kelebihan kadar gizi pada tubuh kita.
Untuk menambah protein kita dapat menambahkan telur atau kornet pada mie instant yang dimasak. Jika ingin menambah serat kita bisa tambah sayuran seperti daun sawi, daun bawang, bawang goreng, dsb. Semua dapat disesuaikan dengan mudah untuk mendapatkan gizi yang tidak didapat dari satu bungkus mi instant.
Proses pembuatan blok mi Indomie dilakukan secara higienis dan tidak menggunakan bahan pengawet apapun.Proses pengawetannya dilakukan dengan cara pengeringan, yaitu digoreng dalam minyak goreng bersuhu tinggi, yang dikenal sebagai deep frying. Atau bisa juga dengan proses pengeringan menggunakan hot air drying. Sebagian besar produk mi instan yang diproduksi secara komersial diawetkan melaui proses deep frying.
Melalui proses pengeringan tersebut, kadar air dalam mi instan hanya sekitar 2-4% saja sehingga tidak memungkinakan mikroba pembusuk berkembang biak. Dengan alasan tersebut mi insan tidak perlu lagi ditambah dengan bahan pengawet apa pun. Demi keamanan, sebaiknya kita selalu memperhatikan tanggal kadaluarsa yang tertera pada kemasan Indomie setiap akan membeli atau mengkonsumsinya.

2.   KADAR AIR
Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 persen.  (Syarif dan Halid, 1993).
Tabrani (1997), menyatakan bahwa kadar air merupakan pemegang. peranan penting, kecuali temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana kini telah diketahui bahwa hanya air bebas yang dapat membantu berlangsungnya proses tersebut.

Ada beberapa macam metoda kadar air, yakni :
a.    Metoda pemanasan langsung
b.    Metoda pengering vakum
c.    Metoda karl fischer
Pemilihan metoda yang akan dipakai, tergantung dengan bagaimana keadaan/sifat contoh yang akan ditetapkan. Dalam penetapan kadar air pada sampel mie dan sirup, dilakukan metoda pemanasan langsung.
Metoda pemanasan langsung digunakan untuk menetapkan kadar air dari zat yang tidak mudah rusak atau menguap pada suhu pemanasan 100o – 105o C.
Penetapan ini relative sederhana dimana contoh yang telah ditimbang atau diketahuo bobotnya dipanaskan dalam suatu pengering listrik pada suhu 100o – 105oC sampai bobot tetap. Selisih bobot contoh awal dengan bobot tetap yang telah dicapai setelah pengeringan adalah air yag telah menguap.
Analisa kadar air menggunakan pengering oven merupakan cara analisis yang paling banyak digunakan karena relative sederhana.
Namun demikia, sering adanya kesalahan yang diabaikan praktikan, yakni :
·         Jika suhu oven yang digunakan lebih kecil dari yang seharusnya (105o C) dapat mengakibatkan tidak semua air dalam contoh teruapkan
hingga dapat menyebabkan kadar air yang diperoleh kecil dari yang seharusnya.
·         Jika suhu oven lebih besar dari yang seharusnya dapat menyebabkan kadar air lebih tinggi karena tidak hanya air yang teruapkan tetapi minyak atsiri yang mudah menguap ikut teruapkan.
Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam bahan, yang dinyatakan dalam persen (%). Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat memspengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa pada bahan pangan.
Kadar air cenderung menurun dengan meningkatnya lama pengeringan, proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh lama pengeringan. Pengeringan dengan menggunakan suhu yang tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata, yaitu bagian luar kering sedangkan bagian dalam masih banyak mengandung air.
Penentuan kadar air dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode pengeringan (dengan oven biasa), metode destilasi, metode kimia, dan metode khusus (kromatografi, nuclear magnetic resonance / NMR). Pada praktikum kali ini, metode yang digunakan adalah metode pengeringan dengan oven biasa dan metode destilasi.
Metode oven memiliki beberapa kekurangan, yaitu bahan lain ikut menguap, terjadi penguraian karbohidrat menghasilkan air yang ikut terhitung, ada air yang terikat kuat pada bahan yang tidak terhitung. Berat sampel yang dihitung setelah dikeluarkan dari oven harus didapatkan berat konstan, yaitu berat bahan yang tidak akan berkurang atau tetap setelah dimasukkan dalam oven. Berat sampel setelah konstan dapat diartikan bahwa air yang terdapat dalam sampel telah menguap dan yang tersisa hanya padatan dan air yang benar-benar terikat kuat dalam sampel, setelah itu dapat dilakukan perhitungan untuk mengetahui persen kadar air dalam bahan.
Pada metode destilasi harus menggunakan pelarut imicible yang mempunyai massa jenis lebih ringan daripada air dan mempunyai titik didih lebih besar daripada air, contohnya toluene. Air yang masuk ke dalam kondensor harus mengalir. Pada metode ini, sampel dan pelarut dimasukkan dalam labu sampai sampel terendam kemudian dipanaskan sehingga terjadi penguapan. Uap yang terbentuk akan naik dan masuk ke kondensor yang mengkondensasi uap sehingga akan mencair kembali dan ditampung untuk mengukur kadar airnya.
Pada kedua metode diatas, sebelum dilakukan penimbangan sampel harus dimasukkan terlebih dahulu ke dalam desikator selama 15 menit yang bertujuan untuk mendinginkan sampel tetapi tidak terjadi penyerapan air. Penentuan kadar air dengan metode destilasi lebih cepat dan akurat daripada metode oven.
3.   KADAR ABU
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan.
Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu :
a.    Garam-garam organik, misalnya garam dari as. malat, oxalate, asetat, pekat dan lain sebagainya.
b.    Garam-garam anorganik, misalnya phospat, carbonat, chloride, sulfat nitrat dan logam alkali (Anonim, 2010).

Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral dapat terbentuk sebagai senyawa yang kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit. Oleh karenanya biasanya dilakukan dengan menentukan sisa pembakaran garam mineral tersebut yang dikenal dengan pengabuan. Komponen mineral dalam suatu bahan sangat bervariasi baik macam maupun jumlahnya. Penentuan konsistensi merupakan mineral bahan hasil pertanian yang dapat dibedakan menjadi dua tahapan yaitu : pengebuan total (larut dan tidak larut) dan penentuan individu komponen.

Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain:
  1. Menentukan baik tidaknya suatu pengolahan
Dalam penggilingan gandum, misalnya apabila masih banyak katul atau lembaga yang terikut maka tepung gandum tersebut akan memiliki kadar abu yang tinggi.
  1. Mengetahui jenis bahan yang digunakan
Penentuan kadar abu dapat digunakan untuk memperkirakan kandungan buah yang digunakan dalam marmalade atau jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintesis.
  1. Penentuan parameter nilai gizi pada bahan makanan
Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran yang lain (Fauzi (2006)
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembkaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Kemurnian serta kebersihan suatu bahan yag dihasilkan semakin tinggi kadar abu maka kebesihan suatu produk semakin berkurang.

Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

Pengabuan cara Langsung (Cara Kering)
Prinsip dari pengabuan cara langsung yaitu dengan mengoksidasi semua zat organic pada suhu tinggi, yaitu sekitar 500 – 600oC dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji, 1996).
Pengabuan yang dilakukan didalam muffle dilakukan melalui 2 tahap yaitu :
  1. Pemanasan pada suhu 300oC yang dilakukan dengan maksud untuk dapat melindungi kandungan bahan yang bersifat volatile dan bahan berlemak hingga kandungan asam hilang. Pemanasan dilakukan sampai asap habis.
  2. Pemanasan pada suhu 800oC yang dilakukan agar perubahan suhu pada bahan maupun porselin tidak secara tiba-tiba agar tidak memecahkan krus yang mudah pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba.

Setelah pengabuan selesai maka dibiarkan dalam tanur selama 1 hari. Sebelum dilakukan penimbangan, krus porselin dioven terlebih dahulu dengan tujuan mengeringkan air yang mungkin terserap oleh abu selama didinginkan dalam muffle dimana pada bagian atas muffle berlubang sehingga memungkinkan air masuk, kemudian krus dimasukkan dalam eksikator yang telah dilengkapi zat penyerap air berupa silica gel. Setelah itu dilakukan penimbangan dan catat sebagai bera c gram.

Beberapa kelemahan maupun kelebihan yang terdapat pada pengabuan dengan cara lansung. Beberapa kelebihan dari cara langsung, antara lain :
a.    Digunakan untuk penentuan kadar abu total bahan makanan dan bahan hasil pertanian, serta digunakan untuk sample yang relative banyak.
b.    Digunakan untuk menganalisa abu yang larut dan tidak larut dalam air, serta abu yang tidak larut dalam asam
c.    Tanpa menggunakan regensia sehingga biaya lebih murah dan tidak menimbulkan resiko akibat penggunaan reagen yang berbahaya.
Sedangkan kelemahan dari cara langsung, antara lain :
a.     Membutuhkan waktu yang lebih lama,
b.    Tanpa penambahan regensia,
c.    Memerlukan suhu yang relatif tinggi, dan
d.    Adanya kemungkinan kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi (Apriantono 1989).

·          Pengabuan cara Tidak Langsung (Cara Basah)
Prinsip dari pengabuan cara tidak langsung yaitu memberikan reagen kimia tertentu kedalam bahan sebelum dilakukan pengabuan. Senyawa yang biasa ditambahkan adalah gliserol alcohol ataupun pasir bebas anorganik selanjutnya dilakukan pemanasan pada suhu tunggi. Pemanasan mengakibatkan gliserol alcohol membentuk kerak sehingga menyebabkan terjadinya porositas bahan menjadi besar dan dapat mempercepat oksidasi. Sedangkan pada pemanasan untuk pasir bebas dapat membuat permukaan yang bersinggungan dengan oksigen semakin luas dan memperbesar porositas, sehingga mempercepat proses penngabuan (Sudarmadji, 1996).
Beberapa kelebihan dan kelemahan yang terdapat pada pengabuan cara tidak langsung. Kelebihan dari cara tidak langsung, meliputi :
a.    Waktu yang diperlukan relatif singkat.
b.    Suhu yang digunakan relatif rendah.
c.    Resiko kehilangan air akibat suhu yang digunakan relative rendah.
d.    Dengan penambahan gliserol alkohol dapat mempercepat pengabuan, dan
e.    Penetuan kadar abu lebih baik.

Sedangkan kelemahan yang terdapat pada cara tidak langsung, meliputi :

1.    Hanya dapat digunakan untuk trace elemen dan logam beracun.
2.    Memerlukan regensia yang kadangkala berbahaya.
3.    Memerlukan koreksi terhadap regensia yang digunakan.

4.   Asam Lemak Bebas
Bilangan asam adalah jumlah miligram Kalium Hidroksida (KOH) yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari 1 gram minyak atau lemak. Bilangan asam dipergunakan untuk mengukur jumlah asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak ataupun lemak.  Besarnya bilangan asam tergantung dari kemurnian dan umur dari minyak atau lemak. Perhitungan bilangan asam ialah hasil kali milliliter KOH yang terpakai sebagai titran dengan normalitas KOH dan bobot ekivalen asam lemak, dibagi dengan bobot sampel minyak (gram) (Ketaren, 2008).
Angka asam yang besar menunjukan asam lemak bebas yang besar yang berasal dari hidrolisa minyak ataupun karena proses pengolahan yang kurang baik. Makin tinggi angka asam maka makin rendah kualitas (Sudarmadji et al., 1996).
Asam lemak atau lebih sering dikenal dengan istilah fatty acid adalah senyawa alifatik dengan gugus karboksil. Bersama-sama dengan gliserol, merupakan penyusun utama minyak nabati atau lemak dan merupakan bahan baku untuk semua lipida pada makhluk hidup. Asam ini mudah dijumpai dalam minyak masak (goreng), margarin, atau lemak hewan dan menentukan nilai gizinya. Secara alami, asam lemak bisa berbentuk bebas (karena lemak yang terhidrolisis) maupun terikat sebagai gliserida.
Asam lemak tidak lain adalah asam alkanoat atau asam karboksilat dengan rumus kimia R-COOH. Contoh yang cukup sederhana misalnya adalah H-COOH yang adalah asam format, H3C-COOH yang adalah asam asetat, H5C2-COOH yang adalah asam propionat, H7C3-COOH yang adalah asam butirat dan seterusnya mengikuti gugus alkil yang mempunyai ikatan valensi tunggal, sehingga membentuk rumus bangun alkana.
Analisis kadar asam lemak bebas berkaitan dengan reaksi hidrolisis yang akan mengarah pada kerusakan minyak atau penurunan mutu minyak. Reaksi hidrolisis yang dapat mengakibatkan kerusakan minyak atau lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak atau lemak tersebut. Suatu minyak atau lemak akan akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Hidrolisis sangat mudah terjadi dalam lemak dengan asam lemak rendah (lebih kecil dari C14) seperti pada mentega, kelapa sawit, dan minyak kelapa. Minyak yang telah terhidrolisis akan mengakibatkan bahan pangan menjadi coklat dan lebih banyak menyerap minyak. Selama penyimpanan atau pengolahan minyak atau lemak, asam lemak bebas bertambah dan harus dihilangkan dengan proses pemurnian dan deodorization untuk menghasilkan minyak yang lebih baik mutunya. (Winarno, 1992)
Reaksi hidrolisis ini akan mengakibatkan ketengikan yang menghasilkan rasa dan bau tengik pada minyak tersebut. Reaksi yang terjadi ditampilkan pada Gambar 1.
H2COOCR                    CH2OH

 HCOOCR +   3H2O       «        CHOH       +    3RCOOH

Asam lemak bebas
 
gliserol
 
trigliserida
 
H2COOCR                    CH2OH


Kadar asam lemak bebas ialah kadar berdasarkan bobot berdasarkan dari asam lemak tertentu yang terkandung dalam minyak atau lemak, dihitung dengan pengurangan jumlah ml NaOH untuk titrasi contoh dengan jumlah ml larutan NaOH untuk titrasi blanko, yang dikalikan dengan normalitas NaOH,bobot ekuivalen asam palmitat, dan dikalikan 100. Setelah itu dibagi dengan mg bobot sample.

5.   Bilangan Peroksida
Peroksida adalah suatu gugus fungsional dari sebuah molekul organik yang mengandung ikatan tunggal oksigen-oksigen (R-O-O-R'). Jika salah satu dari R atau R' merupakan atom hidrogen, maka senyawa itu disebut hidroperoksida (R-O-O-H).
Bilangan peroksida merupakan pengukuran sejumlah iod yang dibebaskan melalui oksidasi oleh peroksida dalam lemak atau minyak dinyatakan dalam miliekuivalen peroksida per kg lemak atau minyak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida. Peroksida ini dapat ditentukan dengan metode iodometri. Menurut Harjadi (1993), metode iodometri dibagi menjadi dua golongan, yaitu iodometri tak langsung yang menggunakan Na2S2O3 sebagai titran dan iodometri langsung yang menggunakan I2 sebagai titran.
Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Tingkat selanjutnya ialah terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas. Mekanisme oksidasi yang umum dari minyak atau lemak adalah sebagai berikut:
Inisiasi (initiation)
RH + O2                                                     radikal bebas
ROOH                                   (antara lain R, RO, RO2, dan HO)        
(ROOH)2                                                   
Perambatan (propagation)
R + O2                                    RO2

RO2 + RH                                              R + ROOH
Penghentian (termination)
R + R
R + RO2                             hasil akhir yang stabil (nonradical)
RO2 + RO2
Ketengikan terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan bilangan peroksida hanya indikator dan merupakan suatu tanda bahwa minyak akan berbau tengik. Berbagai faktor yang dapat mempercepat terjadinya oksidasi adalah adanya katalis, panas, enzim dan kontak dengan oksigen.Oksidasi yang lebih lanjut dapat menghasilkan keton, karena reaksi ini disertai hidrolisa. Peristiwa ini dikenal sebagai ketonic rancydity.  (Ketaren 2008).
Untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak dapat dengan melihat besarnya bilangan peroksida yang terkandung dalam suatu bahan. Dalam reaksinya pembentukan peroksida dan hidroperoksida menjadi awal dari terjadinya reaksi oksidasi. Kemudian selanjutnya  terurainya asam-asam lemak disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asam lemak bebas.  Ketengikan terbentuk oleh aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan bilangan peroksida hanya indikator dan merupakan suatu tanda bahwa minyak akan berbau tengik. Berbagai faktor yang dapat mempercepat terjadinya oksidasi adalah adanya katalis, panas, enzim dan kontak dengan oksigen.
Proses oksidasi sebenarnya bisa diminimalisir dengan penambahan antioksidan pada minyak goreng. Contoh antioksidan yang bisa digunakan dalam batasan tertentu antara lain: eugenol, asam sitrat, pyrogallol dan sebagainya.
Dengan penambahan antioksidan, maka energi dalam persenyawaan aktif (mengandung energi) ditampung oleh anti oksidan, sehingga proses oksidasi terhenti. (Ketaren, 2008).
Analisa bilangan peroksida berdasarkan reaksi antara alkali iodida dalam larutan asam dengan ikatan peroksida. Iod yang dibebaskan pada reaksi ini kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat (iodometri tak langsung). Analat harus berbentuk oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat direduksi dulu dengan KI sehingga terjadi I2, dan yang dititrasi dengan natrium tiosulfat adalah I2 yang telah mengalami reaksi reduksi oleh KI.
Menurut Harjadi (1993)Reaksi berjalan cepat dan bersifat unik karena oksidator lain tidak mengubah S2O3= menjadi S4O6= melainkan menjadi SO3= seluruhnya atau sebagian menjadi SO4=.  Titrasi dapat dilakukan tanpa indikator karena warna I2 yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula cokelat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning, kuning muda dan seterusnya, sampai akhirnya lenyap. Bila diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka titik akhir dapat ditentukan dengan cukup jelas. Namun lebih mudah dan lebih tegas bila ditambahkan indikator amilum.
Penentuan peroksida ini kurang baik dengan cara iodometri biasa, meskipun peroksida bereaksi sempurna dengan alkali iod. Hal ini disebabkan karena peroksida jenis lainnya hanya bereaksi sebagian. Di samping itu dapat terjadi kesalahan yang disebabkan oleh reaksi antara alkali iodida dengan oksigen dari udara. Hasil bilangan peroksida dinyatakan dalam miligram oksigen per 100 gram minyak atau lemak, yaitu hasil pengurangan jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi contoh dengan jumlah mL larutan Na2S2O3 untuk titrasi blanko, yang dikalikan dengan normalitas Na2S2O3, setengah dari bobot ekivalen oksigen (8) dan dikalikan 100. Setelah itu dibagi dengan mg bobot sampel.

6.   ANALISA KADAR PROTEIN
Protein adalah senyawa organik kompleks dengan BM tinggi yang merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan kadang kala sulfur serta fosfor.. Protein merupakan salah satu dari biomolekul raksasa, selain polisakarida, lipid, dan polinukleotida, yang merupakan penyusun utama makhluk hidup. Selain itu, protein merupakan salah satu molekul yang paling esensial dalam tubuh manusia karena merupakan salah satu makronutrien yang sangat dibutuhkan.
Metode Kjeldahl merupakan metode untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Sampel didestruksi dengan asam sulfat dan dikatalisis dengan katalisator yang sesuai sehingga akan menghasilkan amonium sulfat. Setelah pembebasan dengan alkali kuat, amonia yang terbentuk disuling uap secara kuantitatif ke dalam larutan penyerap dan ditetapkan secara titrasi. Metode ini telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek.
Prinsip analisis cara Kjeldahl adalah bahan didestruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Metode Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro. Kekurangan cara analisis ini adalah bahwa purina, pirimidina, vitamin-vitamin, asam amino besar, kreatin, dan kreatinin ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein. Bahkan melamin yang beberapa waktu lalu sempat menggemparkan publik juga dapat teridentifikasi sebagai protein karena memiliki atom N dalam senyawanya. Walaupun demikian, cara ini kini masih digunakan dan dianggap cukup teliti untuk pengukuran kadar protein dalam bahan makanan. Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.
  1. Tahap destruksi
Pada tahapan ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga terjadi pemecahan menjadi unsur-unsurnya. Elemen karbon, hidrogen teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. Sedangkan nitrogennya (N) akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Untuk mempercepat proses destruksi sering ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO (20:1). Gunning menganjurkan menggunakan K2SO4 atau CuSO4. Dengan penambahan katalisator tersebut titik didih asam sulfat akan dipertinggi sehingga destruksi berjalan lebih cepat.
2.    Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Supaya selama destilasi tidak terjadi superheating ataupun pemercikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar maka dapat ditambahkan logam Seng (Zn). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya ditangkap oleh HCl atau asam borat 4 % dalam jumlah yang berlebih dan terukur. Supaya kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup sedalam mungkin dalam larutan asam. Untuk mengetahui asam dalam keadaan berlebihan maka diberi indikator misalnya BCG + MR atau PP.
3.    Tahap titrasi
Apabila penampung destilat digunakan HCl maka sisa HCl yang bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar (0,1 N). Akhir titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP.
%N = × N. NaOH × 14,008 × 100%
Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan HCl 0,1 N dengan indikator (BCG + MR). Akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna larutan dari biru menjadi merah muda.
%N = × N.HCl × 14,008 × 100 %
Setelah diperoleh %N, selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan.